Lyric Avenged Sevenfold - Dear God Lyrics

Selamat mellihat Lyric Avenged Sevenfold - Dear God Semoga bermanfaat

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Blogroll

Rabu, 16 Mei 2012

pendidikan dan kebudayaan

Keynote Speech
MENGGAGAS RENAISANS PENDIDIKANBERBASIS KEBUDAYAAN

Kongres Tahun 2012PENDIDIKAN, PENGAJARAN DAN KEBUDAYAANBalai Senat UGM, 7 Mei 2012

TENTANG Renaisans ini pernah saya singgungsedikit dalam Pidato Penganugerahan Gelar Doctor Honoris Causa di UGM dan di ISI Yogyakarta. Kita bisa memetik pelajaran dari RenaissanceEropa, karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi diletakkan sebagai bagian dari kemajuan kebudayaan. RenaisansEropaadalah kelahiran kembali masa keemasan budaya klasikYunani dan Romawi kuna. Masa itu ditandai oleh kehidupan cemerlang di bidang sains, filsafat, seni dan sastra yang mencerahkan Eropa dari masa kegelapan intelektual. Inspirasinya justru datang dari tokoh-tokoh seniman, seperti Leonardo da Vinci dengan lukisannya, “Monalisa”, dan Michelangelo dengan karya patungnya, “Pieta”.
Bercermin pada RenaisansEropa dan berselancar di atas gelombang pasang Renaisans Asiadi Abad Pasifikserta mengadopsi Restorasi Meiji, mungkinkah bangsa Indonesia terbangkitkan kesadaran menuju “Renaisans Pendidikan Berbasis Kebudayaan”, seperti halnya bangsa Jepang menyadari bahwa pendidikan membawa misi kebajikan dan mencerdaskan bagi bangsa?
Menurut Taroo Sakamoto, kesamaan era munculnya Borobudur dan Bangsal Budha Agung di Nara merupakan petunjuk adanya kesamaan tingkat peradaban antara kedua bangsa di masa itu.
Berselancar di Gelombang Pasifik
Menyongsong Abad Pasifikdengan gelombang yang datang menggulung, Indonesia berpeluang melakukan Renaisans Pendidikan dengan berselancar di atasnya, memanfaatkan momentumRenaisans Asia yang sedang pasang naik. Selain itu, bisa sambil mengadopsi dan mengadaptasiRestorasi Meiji, disesuaikan dengan kebhinnekaan budaya kita yang berbasis pada keunikan budaya-budaya etnik se-Nusantara.Jangan sampai momentum itu menjadi monopoli “Abad Pasifiknya Amerika”, seperti diucapkan Menlu Hillary Clinton.
Abad Pasifik, menandai pergeseran pusat gravitasi dunia dari Atlantik ke Pasifik. Sejarawan Toynbee dan Spengler memprediksi, “Peradaban Barat dan Timur timbul dan tenggelam secara bergantian dalam siklus 800 tahunanPutaran Eropa yang dimulai abad ke-13, kini cenderung menurun, dan abad ke-21 ini akan menjadi saksi berkembangnya peradaban Asia-Pasifik”. Di abad ini, pusatnya bergeser ke Jepang dan negara-negara Asia Timur. Dalam setiap kasus, akselerasi ekonomi sangat mempengaruhi sejarah politik dan budaya.
Banyak ahli sejarah menyatakan, Sriwijaya adalah bentuk Nusantara-Pertama, Majapahit-Nusantara Kedua, dan NKRI adalah Nusantara-Ketiga, yang seharusnya bangsa ini terpanggil oleh sejarah untuk mengulangi kejayaan Sriwijaya dan Majapahit.
Jepang negara yang tumbuh begitu pesat dengan tatanan yang khas, seperti pejudo tangguhyang melakukan adaptasi dengan mengambil formula dari luar dirinya. Tetapi kakinya sudah kokoh terlebih dulu, menunjukkan ciri Jepangnya tetap ada. Ada unsur pengembangan kreatif. Ada nilai tambah. Menciptakan pasar yang lebih luas. Memberikan keunikan sendiri. Kita berharap, Indonesia seperti Jepang dalam mengadaptasiRenaisans Pendidikan-nya itu!

Renaisans Asia
BukuThe Asian Renaissance menguraikan bagaimana bangsa Asia lahir kembali di tengah era globalisasi, dan mengubah kekuatan Atlantik ke Pasifik.
Anwar Ibrahim, pengarangnya, menggambarkan denyut kebangkitan bangsa-bangsa Asia pada aspek budaya dan peradaban. Renaisans Asia menandakan kegairahan baru untuk menggali warisan kebudayaan dan peradaban masa lalu yang pernah unggul di pentas dunia.
Meski ranum energi intelektual dan budaya, Renaisans Eropa kehilangan jiwa karena mempromosikan “humanisme sekuler yang tercerabut dari akar agama Judeo-Kristiani”. Renaisans Asia, sebaliknya, “memiliki fondasi yang kuat pada agama dan tradisi”. Renaisans Eropa bersifat monolit, Kebangkitan Asia lebih kukuh, karena dibangun di atas tradisi yang beragam, layaknya “sebuah konsorsium budaya”, Islam, Konghucu, Buddha, Hindu, dan Kristen.
Penuh dengan renungan dan pencarian, menyelam ke dalam relung khazanah klasik Asia, dengan kepercayaan diri untuk berdialog, bukannya berkonfrontasi dengan Barat. Ia memberi penghormatan khusus kepada “para pelopor Renaisans Asia”, seperti Muhammad Iqbal (penyair muslim dari Pakistan), Rabindranath Tagore (sastrawan Hindu dari India), Jose Rizal (novelis Kristen dari Filipina), dan Sun Yat-sen (nasionalis China yang Konghucu).
Renaisans Eropa yang menandai kebangkitan Eropa dari masa kegelapan, dapat dibagi menjadi empat babak, periode revitalisasi kebudayaan (abad 12-13), renaisans (abad 14-17), revolusi sains (abad 16-17) dan revolusi industri (abad 18-19). Kebangkitan Eropa merupakan sebuah perjalanan panjang yang dimulai dari proses revitalisasi budaya. Catatan ini menunjukkan bahwa budaya memiliki peranan strategis dalam proses kebangkitan Eropa.
Bahan Baku Renaisans Pendidikan
Kebangkitan Nasional yang dimotori dr. Soetomo dan dr. Wahidin Soedirohoesodo melalui Boedi Oetomo memuat tiga tujuan pokok: membangun kemajuan fisik dan non fisik yang selaras untuk negeri dan bangsa, memajukan pengajaran dan pendidikan budi luhur (karakter) bangsa dan perekonomian rakyat,agar cukup sandang, pangan dan papan.
Menurut Ki Hadjar Dewantoro mendidik adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi), meningkatkan manusia ke taraf insani. Meski ia membedakan “Pengajaran” dan “Pendidikan”, keduanya harus saling bersinergi.Pengajaran memerdekakan manusia dari aspek lahiriah:kemiskinan dan kebodohan, sedangkan pendidikan dari aspek batiniah: otonomi berpikir, mengangkat martabat dan mentalitas demokratik.
Metode Tamansiswadengan sistem among, berdasarkan asih, asah dan asuh, secara teknik pengajaran meliputi “kepala, hati dan tangan” (educate the head, heart, and hand), sama seperti konsep universal. Pendidikan juga harus memiliki tiga landasan filosofis: nasional, universal dan spiritual.
Sementara di Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan menempatkan pendidikan pada skala prioritas utama, sebagai upaya strategis menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir statis menuju pemikiran dinamis dengan ber-ijtihat. Untuk itu, pendidikan Islam ditujukan guna membentuk manusia Muslim yang utuh. Menguasai ilmu agama dan ilmu pengetahuan untuk menjadikannya “muslim-intelektual” sekaligus “intelektual-muslim”.
Ia berupaya memadukan pendidikan pesantren dengan pendidikan model Belanda, tetapi tetap harus bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat. Dengan tujuan itu, kurikulum dirancang untukpendidikan moral, pendidikan individu, dan pendidikan kemasyarakatan secara kontekstual, bukan tekstual. Kerangka pemikiran Muhammadiyah saat ini secara metodologis bertumpu pada tiga kata kunci: “bayani, burhani dan irfani”, yang oleh sementara orang dalam diberi label: “Renaisans Kedua Pendidikan Muhammadiyah”.
Dari ketiga ‘mazab’ itu, mungkin hanya Ki Hadjar yang eksplisit mengkaitkan pendidikan dengan kebudayaan. Menurutnya kebudayaan adalah buah budi manusia melalui olah-cipta(kognitif), olah-rasa(afektif) danolah-karsa (konatif).Kaitannya dengan pendidikan, laludimanakahranah psikomotorik-nya(olah-karya)untuk melengkapi Taksonomi Bloom (1956) sebagai arus utama yang melandasi penyelenggaraan pendidikan?Dalam tiga ranah itu terkandung totalitas potensi subyek didik yang perlu dikembangkan secara terintegrasi, bukan parsial.
Dengan mencermati kembali metode among, yang secara teknik pengajaran meliputi “kepala, hati dan tangan”, maka konsep Ki Hadjar tersebut sesungguhnya secara implisit telah terkandung aspek psikomotorik, menyangkut ketrampilan fisik dalam mengerjakan sesuatu. Maka, menurut logika saya, unsur pembentuk kebudayaan versi Ki Hadjar itu pun cukup alasan untuk ditambahkan dengan aspek psikomotorik.Sehingga konsep lengkap kebudayaannya adalah: buah budi manusia melalui olah-cipta, olah-rasaolah-karsa, danolah-karya.
Digabungkannya bidang kebudayaan dengan pendidikan, mengembalikan nama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan seperti tahun 1945-1948 ketika Ibukota berada di Yogyakarta, adalah momentum yang tepat untuk mewujudkan keterpaduan kebijakan pendidikan, pengajaran dan kebudayaan beserta implementasinya yang kembali diawali dari Yogyakarta.
Konsekuensinya, perlu meluruskan implementasi visi dan menyesuaikan Renstra Pendidikan 2010-2014. Untuk itu, kita membutuhkan sebuah visi kebudayaan. Visi inilah yang kemudian dapat kita jadikan kompas pemandu arah perjalanan budaya bangsa. Elemen-elemen kebudayaan di Indonesia harus bersatu dan bersinergi bersama, serta bangkit menjadi leading sector pilar pendukungRenaisans Pendidikan di Indonesia.
Topik “Menggagas Renaisans Pendidikan Berbasis Kebudayaan”dimaksudkan untuk melahirkan kembali secara kontekstual dengan “ruh” baru atas sistem dan model pendidikan tempo doeloeitu yang merupakan kekayaan bangsa di bidang pendidikan, terutama pendidikan moral dan etika yang berkaitan dengan pembangunan karakter bangsa.
Lima Pilar KeIstimewaan Pendidikan Yogyakarta
Yogyakarta dikenal sebagai Kota Pendidikan. Pengakuan itu umumnya diberikan secara kualitatif, yaitu pengakuan bahwa pendidikan di Yogyakarta dinilai berbeda dan lebih baik dari kota-kota lain. Kesan ini diterima oleh komunitas di tempat kerja para alumni Yogya, dan oleh para alumni sendiri.
Tetapi sesungguhnya dalam kenyataan, rencana dan rancangan sistemik dan sistematis untuk menjadikan Yogyakarta Kota Pendidikan belum pernah ada. Tetapi, Yogyakarta dari khittah-nya memang layak menyandang predikat itu, karena memiliki Lima Pilar KeIstimewaan Pendidikan.
  • Pilar Pertama: Pendidikan di Kraton
Konsep pendidikan di lingkungan Kraton, diakui sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan dan peradaban yang berkembang selama ratusan tahun. Ppendidikan dasar bagi keluarga Kraton dilakukan di Sekolah Srimanganti (untuk pria) dan di Mayaretna (untuk wanita). Selanjutnya berkembang di luar tembok Kraton menjadi SD Keputran yang menjadi “sekolah favorit” masa itu. Pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat Yogyakarta sangat nyata, disepakati sebagai Pilar Keistimewaan Pertama Pendidikan Yogyakarta.
  • Pilar Kedua: Muhammadiyah
K.H. Ahmad Dahlan yang mengembangkan Muhammadiyah, adalah seorang ulama yang bekerja di Kraton dalam pendidikan agama bagi keluarga Kraton. Cita-cita pendidikan Kyai Ahmad Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia yang tampil sebagai seorang “muslim-intelektual” sekaligus “intelektual-muslim”. Tujuan kembar ini dijabarkan dari ucapannya dalam  bahasa Jawa yang bersahaja: “Dadiyâ santri sing kĂŞmajuan”. Konsep pendidikan Muhammadiyah ini menjadi Pilar Keistimewaan Kedua Pendidikan Yogyakarta.
  • Pilar Ketiga: Tamansiswa
Konsep pendidikan Tamansiswa menggunakan pendidikan sebagai sarana perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat. Pendidikannya berbasis kebudayaan dan kebangsaan sebagai ideologi pendidikan (Pancasila), dengan menggunakan Tri Pusat Pendidikan secara harmonis, dengan sistem “momong-among-ngĂŞmong”, dan berbasis pada proses Trikon (kontinuitas, konvergensi, dan konsentrisitas).Konsep pendidikan Tamansiswa menjadi berkembang dinamis, bersifat kerakyatan, dan menjadi Pilar Keistimewaan Ketiga Pendidikan Yogyakarta.
  • Pilar Keempat: Pesantren
Pada zaman Hindu dan Budha, pendidikan tradisional telah menghasilkan karya-karya monumental, seperti SĂŞrat Pararaton dan NĂŞgarakĂŞrtagama. Pendidikan dilakukan oleh para brahmana kepada siswa dalam jumlah terbatas di padepokan.
Ketika Islam masuk Nusantara, pendidikan yang dikembangkan adalah sistem pendidikan langgar danpesantren. Di langgar diajarkan hal-hal dasar, di pesantren lebih meningkat dan mendalam. Pelajarannya antara lain fiqih, Hadits, tafsir, tauhid, tasawuf, etika dan ajaran-ajaran Islam yang lain. Cikal-bakal pendidikan pesantren bisa ditemukan di sekitar Masjid Pathok Nagari (Mlangi, Plasakuning, Dongkelan, Babadan), dan Masjid Agung sebagai pusatnya, seakan mengukuhkan tradisi Jawa: “kĂ©blat papat, limâ pancĂŞr”.
Konsep pendidikan pesantren yang bersifat Islami dan lebih mengetengahkan konvergensi budaya lokal dengan agama Islam, menjadi Pilar Keistimewaan Keempat Pendidikan Yogyakarta.
  • Pilar Kelima: Pendidikan Barat
Menyusul Politik Etis, yang berawal dari pidato tahunan Ratu Wilhelmina (1901)yang mengumumkan trilogi kebijakan: “edukasi, irigasi, dan imigrasi”, sekolah-sekolah kolonial didirikan untuk kaumpribumi. Peran pengajar yang memiliki kharisma, digantikan guru yang mengajarkan pelajaran umum di kelas.
Setelah itu, Yogyakarta dipilih untuk didirikannya sekolah MULO, AMS, HBS, dan yang lainnya.Karena terbatasnya kesempatan kaum inlander untuk mendapatkan pendidikan di sekolah-sekolah itu, dampaknya tidak terasa secara luas. Namun, sekolah-sekolah itulah yang menarik datangnya kaum muda dari seluruh Nusantara.
Selanjutnya muncul SD Netral yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk rakyat kebanyakan, tetapi kemudian asas pendidikannya “dibelokkan” menjadi sekolah kebangsaan. Yang juga menjadi “keIstimewaan” Yogyakarta adalah berkembangnya sekolah yang berasaskan agama Kristiani.Pendidikan yang membebaskan dan memerdekakan menjadi ikon pendidikan yang dipraktekkan dalam berbagai program pengembangan kemasyarakatan ini, menjadi Pilar Keistimewaan Kelima Pendidikan Yogyakarta.
Kovergensi
Sesungguhnya nafas pendidikan di Yogyakarta adalah hasil konvergensi atau interaksi dari berbagai konsep dan pola pendidikan yang hidup dan berlangsung di Yogyakarta.Pertanyaan pokok adalah mungkinkah substansi kekhasan pendidikan di masing-masing pilar itu disintesekan?Saya tidak menggunakan istilah integrasi yang terkesan adanya “paksaan”, tetapi dengan “sintesa”, karena terjadinya secara alamiah melalui dialog yang intens dan panjang.
Diakui, bahwa setiap pilar tersebut memiliki keunggulan masing-masing yang khas.Semua pilar berasal dari lebih dari satu sumber pemikiran, dan semuanya sebenarnya sudah merupakan hasil konvergensi dan sintesa.
Bentuk konvergensi yang mungkin adalah melalui (1)Asosiasi, bentuk keterkaitan yang paling longgar;(2)Asimilasi, terjadinya “persenyawaan”, tetapi masing-masing unsurnya tetap menunjukkan kekhasan masing-masing seperti apa adanya, dan (3)Akulturasi, mengacu pada aspek keterbukaan, toleransi atas masuknya unsur-unsur kebudayaan luar melalui proses sintesis dan menjadikannya model pendidikan baru.
Kiranya perlu inventarisasi sumber pemikiran, berupa peradaban, kebudayaan, sistem nilai, agama, ilmu, kebangsaan, keadilan, demokrasi, lokalitas, budi pekerti, kemandirian, kemasyarakatan, kerakyatan, kompetensi, kecakapan hidup, orientasi global, lingkungan hidup, ideologi, HAM, kesejahteraan, dan sumber pemikiran lainnya.Tidak satu pun pilar yang memiliki dan menggunakan keseluruhan sumber pemikiran tersebut di atas, sehingga paling tidak diperlukan asosiasi di antara pilar-pilar tersebut guna saling mengisi.
Dalam hal ini, diperlukan inisiatif pihak Pemerintah DIY (melalui Tim yang dibentuk) untuk melakukan konvergensi sumber-sumber pemikiran tersebut, agar memberikan nilai tambah bagi penyelenggaraan pendidikan di Yogyakarta.  Perlu pemikiran lanjut untuk mengukuhkan masa depan Yogyakarta sebagai Propinsi Pendidikan, bukan terbatas pada Kota Pendidikan saja,melainkan yang terencana dan terancang dengan baik dalam lingkup propinsi, bukan sekadar pengakuan yang satu saat bisa berubah.
Menggagas Renaisans Pendidikan Yogyakarta
Dari keempatmodel pendidikan yang lahir di Yogyakarta itu, kecuali model pendidikan Barat yang datang dari luar, menurut banyak pendapat pendidikan Tamansiswa-lah yang memiliki dokumentasi tertulis karya Ki Hadjar Dewantoro yang cukup sistematis dan runtut.
K.H. Ahmad Dahlan telah melakukan pembaharuan pendidikan yang semula bersistem pesantren menjadi sistem klasikal dengan memasukkan pelajaran umum ke dalam pendidikan madrasah. Namun tanpa mengurangi rasa hormat dan penghargaan kepada beliau, ternyata tidak banyak karya tulis yang diwariskan untuk generasi yang kemudian. Kendala ini menyebabkan kita kesulitan untuk bisa menelusuri pemikiran-pemikiran besar beliau.
Dengan tetap menghargai unsur-unsur yang lain, ijinkanlah saya memberanikan diri untuk mencoba menempatkan sistem pendidikan Tamansiswa sebagai arus utama (mainstream) dalam upaya“Menggagas Renaisans Pendidikan Yogyakarta Berbasis Lima Pilar KeIstimewaan Pendidikan”, dengan tetap memasukkan keunggulan khas unsurnya masing-masing.
Renaisans Pendidikanadalah proses yang kompleks, berwajah majemuk dan memiliki jalinan tali-temali yang interaktif, sehingga memerlukan pengerahan segenap potensi yang ada dan dalam tempo yang panjang. Dengan kata lain, merupakan suatu imperative actionRenaisans Pendidikanhendaknya didasarkan fakta dan hasil penelitian yang memadai dan valid, sehingga dapat dikembangkan program yang utuh, jelas dan realistis.
Pendekatan sistemik mengisyaratkan agar dalam renaisanstidak ada unsur-unsur pembentuknya yang tertinggal. Renaisans harus menekankan pada faktor kunci yang akan mempengaruhi faktor-faktor lain secara simultan, sehingga renaisansakan melibatkan seluruh faktor yang penting, dan menempatkan semua faktor tersebut dalam suatu sistem yang bersifat organik.
Di balik penafsiran tentang isi dan ujar-ujar Ki Hadjar Dewantoro (KHD) itu, sesungguhnya masih banyak intisari ajaran yang membutuhkan penafsiran ulang terhadap i fatwa-fatwa beliau yang lebih bersifat filsafat pendidikan. Yang akan diketengahkan di sini adalah sepuluh fatwa untuk hidup merdeka, atau dalam bahasa KHD “fatwa akan sendi hidup merdeka”.
  1. Lawan sastrângèsti mulyâ, artinya “dengan ilmu menuju kemuliaan”. Inilah yang dicita-citakan KHD dengan Tamansiswanya untuk kemuliaan nusa, bangsa dan rakyatnya.
  2. Suci tâtângèsti tunggal, fatwa ini bermakna dengan kesucian menuju kesempurnaan sebagai janji yang harus diamalkan oleh setiap pejuang.
  3. “Hak diri untuk menuntut salam dan bahagia”. Berdasarkan asas Tamansiswa yang menjadi syarat hidup merdeka atas dasar ajaran setiap agama, pada prinsipnya semua manusia sama-sama haknya maupun kewajibannya.
  4. “Salam bahagia diri tidak boleh menyalahi damainya masyarakat”, sebagai sebuah peringatan, bahwa kemerdekaan diri kita dibatasi oleh kepentingan keselamatan masyarakat. Batas kemerdekaan diri kita adalah hak-hak orang lain yang juga sama-sama mengejar kebahagiaan hidup. Segala kepentingan bersama harus diletakkan di atas kepentingan diri pribadi.
  5. “Kodrat alam penunjuk untuk hidup sempurna”, sebagai pengakuan bahwa petunjuk dalam kodrat alam, harus kita jadikan pedoman hidup, baik sebagai individu maupun bangsa dan anggota dari alam kemanusiaan.
  6. “Alam hidup manusia adalah alam berbulatan”, artinya hidup kita itu ada dalam lingkungan berbagai alam-alam khusus yang saling berhubungan dan berpengaruh. Rasa diri, rasa bangsa dan rasa kemanusiaan, ketiga-tiganya hidup dalam sanubari manusia.
  7. “Dengan bebas dari segala ikatan dan suci hati berhambalah kepada sang anak”, mengandung arti bahwa penghambaan kepada anak tidak lain daripada penghambaan kepada diri kita sendiri untuk mencari rasa bahagia dan damai dalam jiwa.Di samping itu, kita juga menghambakan diri kepada bangsa, negara dan rakyat serta agama.
  8. TĂŞtĂŞp-mantĂŞp-antĂŞp, artinya dalam melaksanakan perjuangan harus berketetapan hati. Tekun bekerja danharus tetap tertib dan berjalan maju. Selalu “mantĂŞp”, setia dan taat pada asas, teguh iman agar tidak ada kekuatan yang dapat menahan gerak dan membelokkan aliran kita. Setelah “mantĂŞp” dan tabah batin kita, segala perbuatan akan “antĂŞp”, bernas dan berharga. Tidak mudah dihambat, atau dilawan oleh orang lain.
  9. NgandĂŞl-kĂŞndĂŞl-bandĂŞl-kandĂŞl, dalam arti harus “ngandĂŞl”, percaya dan yakin kepada kekuasaan Tuhan dan diri sendiri. “KĂŞndĂŞl”, berani tiada ketakutan dan was-was oleh karena kepercayaan yang sama. “BandĂŞl”, berarti tahan dan tawakal. Dengan demikian, kita jadi “kandĂŞl”, tebal kuat lahir batin untuk berjuang mencapai cita-cita.
  10. “NĂŞng-Ning-Nung-Nang”, artinya “mĂŞnĂŞng” tenteram lahir batin tidak ragu dan malu-malu. Selanjutnya “ning” atau “wĂŞning”, bening jernih pikiran, sehingga mudah membedakan yang hak dan yang bathil, maka kita jadi “nung” atau “hanung”, kuat sentosa kokoh lahir batin untuk mencapai cita-cita. Akhirnya “nang”, menang dan dapat wewenang, berhak dan kuasa atas pencapaian usaha.
Kesepuluh fatwa hidup Ki Hadjar Dewantoro itulah yang seharusnya diketahui dan diamalkan, khususnya oleh warga Tamansiswa, dan masyarakat Indonesia yang berharap NKRI tetap berkibar.
Modal sejarah pendidikan Yogyakarta perlu digali dengan benar, bagi kepentingan Yogyakarta, bangsa dan negara, dan dunia.Semua pelaku pada Pilar Keistimewaan Pendidikan Yogyakarta perlu mawas diri terhadap kelemahan dan perannya bagi Yogyakarta, bangsa dan negara.Semua pelaku pada Pilar KeIstimewaan itu perlu menginventarisasi kapasitas dan peluangnya untuk berkontribusi dalam turutserta merealisasikan gagasan “Renaisans Pendidikan Yogyakarta Berbasis Lima Pilar KeIstimewaan Pendidikan” tersebut.
Realisasinya sangat tergantung dari keberhasilan konvergensi semua konsep dan pola pendidikan yang selama ini hidup dan berlangsung di Yogyakarta.Konvergensi konsep dan pola pendidikan itu memiliki potensi untuk menjadi inspirasi bagi pengembangan konsep dan pola pendidikan secara nasional, dan bahkan global.Watak pendidikan di Yogyakarta yang berorientasi pada kepentingan rakyat secara adil dan beradab akan menjadi catatan sejarah pendidikan sepanjang masa bagi Indonesia dan dunia.
Pendidikan Berbasis Kebudayaan
Harmonisasi peran Tri Pusat Pendidikan (keluarga, sekolah, masyarakat) perlu dioptimalkan justru dalam kondisi masyarakat dan perkembangan teknologi, serta kondisi interaksi global seperti sekarang ini.Peran dan pesan moral kebudayaan lama bagi pendidikan sekarang perlu disikapi secara kritis: yang baik dan sesuai diteruskan, yang kurang baik dikoreksi, yang tidak baik dan tidak sesuai ditinggalkan.
Tidak perlu alergi dengan warisan budaya lama, karena dapat digunakan sebagai sumber inspirasi bagi pendidikan di Yogyakarta di masa mendatang. Misalnya konsep baku Jogèd Mataram: “sawiji, grĂŞgĂŞt, sĂŞngguh, ora-mingkuh” telah diusulkan oleh Komite Rekonstruksi Pendidikan DIY (KRPDIY) sebagai Kredo Pendidikan di DIY melengkapi simbol yang tersemat di dada PNS Pendidikan: “Tut Wuri Handayani”.
Pendidikan yang tidak didasari oleh kebudayaan akan menghasilkan generasi yang tercerabut dari kehidupan masyarakatnya sendiri. Menjadikan pendidikan yang steril dari kekayaan budayanya sendiri, dan berpotensi untuk menghasilkan enclave dalam masyarakat. Kebudayaan yang tidak menyatu dengan pendidikan, akan cenderung asing bagi kehidupan dan mulai ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri.
Pendidikan dan pengajaran, dua proses satu nafas, memiliki keterkaitan yang berbeda kadarnya dengan kebudayaan. Pendidikan memerdekakan nurani, pengajaran memerdekakan pikiran. Namun pengajaran dapat dikatakan sebagai bagian dari pendidikan secara umum, karena ilmu yang diajarkan dan dipelajari adalah alat pendidikan.Dengan demikian, menunjukkan perlunya keterpaduan hubungan antara Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan.
Catatan Akhir
Rekomendasi para ahli secara umum merujuk pada simpul bahwa modernitas telah kehabisan tenaga. Jalan keluarnya dapat diwakili pandangan Fitjrof Capra, Kembali ke Paradigma Kebudayaan.
Bagi negeri-negeri yang termodernisasi lanjut dan sebagian telah memasuki apa yang disebut modernisasi radikal, kembali ke paradigma kebudayaan sering dinyatakan dengan: “berkiblatlah keTimur”. Penyederhanaan ini tak lain karena di belahan Timur anasir-anasir kebudayaan sebagian belum terbekukan dan tersisihkan dalam diri manusia dan masyarakat.Pertanyaannya bagaimana masyarakat negeri Timur, termasuk Indonesia menanggapinya? Tanggapan paling tidak dapat dipetakan ke dalam dua kemungkinan, yaitu tipe “struktural” dan tipe “kultural”.
Tipe Struktural dapat dianalogikan dengan struktur kereta api bergerbong panjang yang berjalan di atas rel tunggal. Jika modernitas masyarakat dunia diletakkan pada garis kontinum, sesuai perspektif dan teori-teori modernisasi, maka masyarakat tradisional dan semi-modern di Timur adalah gerbong-gerbong belakang yang mengekor jejak gerbong-gerbong masyarakat modern Barat yang ada di bagian depan.
Ketika gerbong masyarakat Barat telah berkiblat ke kebudayaan Timur (berbalik arah), masyarakat tradisional dan semi-modern Timur yang berada di gerbong belakang justru tetap mengarah ke modernisasi alaBarat.
Dengan kata lain, masyarakat Timur harus ter-Baratkan sepenuhnyadulu, untuk kemudian berbalik ke paradigma kebudayaan Timur, jika masih tersisa waktu. Sepanjang proses itu, hampir pasti yang terjadi adalah krisis terlembaga.
Sedangkan tanggapan Tipe Kultural dapat dianalogikan dengan Pesta Olahraga Olimpiade. Dalam Olimpiade, terbuka kedudukan olahraga dan peserta sama (kompetisi-koeksistensi), tetapi masing-masing tipe olahraga memiliki ciri-ciri tertentu yang dipengaruhi oleh ciri-ciri alamiah manusia, misalnya ukuran badan atau karakter kultural tertentu.
Jika paradigma kembali ke kebudayaan ditandai dengan kuatnya minat masyarakat dunia pada olahraga ber-ranah esoterik-spiritual keTimuran, yang notabenelebih dikuasai oleh masyarakat Timur, secara teoritis dan ideal peluang atlet Timur merajai Olimpiade lebih terbuka ketimbang atlet Barat.Tetapi tanggapan empiris masyarakat Timur boleh jadi sebaliknya.
Mereka yang berpostur badan rata-rata kecil-pendek lebih aktif mengembangkan olahraga bola basket ketimbang mendirikan padepokan-padepokan pencak silat. Jika pilihannya bola basket, hampir pasti orang Timur kesulitan mencatatkan prestasi di arena Olimpiade.
Sedangkan jika mengembangkan padepokan pencak silat kemungkinan orang Timur mencatatkan prestasi gemilang di Olimpiade sangat terbuka karena dasar-dasar keilmuan pencak silat itu ada di Timur.Intinya, kita ini mengalami krisis identitas!
Sebagai catatan akhir ijinkanlah saya mengutip puisi Muhammad Iqbal, salah satu tokoh Renaisans Asia yang dihormati Dr. Anwar Ibrahim, yang ditujukan kepada mereka yang gemar meniru pola hidup Barat yang cenderung materialistis dan hedonis, agar menjadi inspirasi untuk kita renungkan bersama.
………………………………………………………….
Kekuatan Barat bukan karena sekularisme
            Kemajuannya tidak disebabkan menggunakan huruf Latin
            Kekuatan Barat terletak pada ilmu pengetahuan dan seninya
Lampunya menyala terang oleh filsafat dan sastranya
Pengetahuan tidak tergantung pada mode dan corak pakaian
Kopiah tak merintangimu memperoleh pengetahuan.
Yogyakarta, 7 Mei 2012
KARATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT,
HAMENGKU BUWONO X
Daftar Rujukan:

  1. HB XMenggugah Hati, Mengetuk Nurani, Membangun Peradaban Berbasis Nilai-Nilai Kemanusiaan, Pidato Penganugerahan Gelar Doctor Honoris Causa Bidang Kemanusiaan dari UGM, Kampus UGM, 19 Desember 2011.
  2. HB XAjaran Sang Amurwabumi: Sumber Acuan Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Bangsa, Pidato Penganugerahan Gelar Doctor Honoris Causa Bidang Seni Pertunjukan, Kampus ISI, 27 Desember 2011.
  3. AnonimKonsep Pendidikan Ki Hajar Dewantoro dan Fukuzawa Yukichi.
  4. Hillary ClintonACFTA vs Abad Pasifik Amerika dan Pengaruhnya bagi Indonesia, VIVANews.
  5. RosdiansyahBenarkah Asia Alami Renaisans?Society for Ultimate-Faith and
Inter-religion (SUFI), Surabaya, 15 Juli 2997.
  1. Farid GabanRenaisans Asia, Resensi Buku, 24 November 1998.
  2. Catatan Lepas, Mengapa Harus Diawali Kebangkitan Budaya?.
  3. Badjoeri WidagdoRevitalisasi Pendidikan Karakter Bangsa, Opini.
  4. Br. Theo Riyanto, FICPemikiran Ki Hajar Dewantara Tentang Pendidikan,25Mei 2004.
  1. Drs. Muhammad Azhar, MARenaisans Kedua Pendidikan Muhammadiyah,
Suara Muhammadiyah Edisi 15/2004, 23 Desember 2011.
  1. Abdul MuizKonsep Pendidikan KH Ahmad Dahlan, Kumpulan Makalah Pendidikan Islam, Psikologi, Fiqih, dll., 30 Maret 2010.
  2. Anne AhiraMemahami Pengertian Kognitif Afektif Psikomotorik.
  3. DepdiknasRencana Strategis Departemen Pendidikan NasionalTahun 2010-2014.
  4. HB XMencari Ciri Khas & Keunggulan Pendidikan DIY, Diskusi,
Jogja Education Club (JEC), UKDW, Yogyakarta, 20 Maret 2012.
  1. WuryadiMasa Depan Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan, 22 Maret 2007.
KRP DIY, Keistimewaan Pendidikan Jogja yang Telah, Sedang dan Akan Muncul.
  1. 16.  Sudjarwadi, Menggali Kredo Kecerdasan Kolektif Pendidikan DIY
Berbasis Kearifan Lokal, Presentasi Intern KRPDIY.
  1. Rama PrabuMembaca Ulang Fatwa Ki Hadjar Dewantara, Refleksi Hari Pendidikan Nasional dan Upaya Menjaga Hidup Merdeka, Kaoem Dewantara Institute,
16 Desember 2006.
  1. George Soedarsono EsthuAbad Kegelapan, Semiloka Visi Kebudayaan Indonesia.
  2. Abdul Hadi WMIqbal dan Renaisans Asia, 6 Desember 2008.
  3. K.H. DewantaraPendidikan (Bagian Pertama), Majelis Luhur PersatuanTaman Siswa, Cetakan III, 2004.
  4. K.H. Dewantara, Kebudayaan (Bagian Kedua), Majelis Luhur PersatuanTaman Siswa, Cetakan II, 1994.

Get Free Music at www.divine-music.info
Get Free Music at www.divine-music.info

Free Music at divine-music.info